“Mbak, setiap hari
masak?” tanyanya di sebuah kesempatan.
“Kadang-kadang saja, kalau sempat atau libur baru masak.”
Balasku sambil tersenyum.
“Saya mau berhenti kerja saja Mbak, terus terang saya
belum bisa mengatur waktu. Masih suka kerepotan. Belum terbiasa mungkin.”
Tambahnya.
Aku
hanya tersenyum menanggapinya. Sesampai di rumah kusampaikan obrolan tadi pada
suamiku. Dia pun hanya tersenyum dan
berkata, “Mungkin bagi sebagaian adat, ada yang melarang para suami untuk
membantu pekerjaan istrinya di rumah. Bahkan menganggap itu adalah sebuah aib,
ketika suami turun tangan mengerjakan pekerjaan rumah tangga.”
“Oh, begitu ya?” aku pun terdiam..
“Tapi bukankah itu akan menyusahkan bagi sang istri?
Apalagi saat punya anak nanti. Seharusnya saat menikah, adat dan kebiasaan
jelek dari orang tua kita jangan dibawa ke dalam rumah tangga kita. Jadi kita
ciptakan sendiri rumah tangga sesuai keinginan kita.” Tambahku serius.
“Idealnya begitu. Tapi kenyataannya tak semua bisa
berjalan begitu.”
***
Dalam sebuah seminar tentang pernikahan yang bertema
“Membangun Keluarga SAMARADA (Sakinah, Mawaddah, Warohmah dan Dakwah) yang kuikuti, pembicaranya mengatakan, bahwa saat kita akan menempuh
hidup baru bersama pasangan kita hendaknya kita berazzam dengan kuat bahwa rumah
tangga kita kelak harus benar-benar baru. Dunia yang kita ciptakan di dalamnya
pun harus baru. Peraturan, kesepakatan dan lain halnya pun haruslah baru.
Karena saat semua orang menyalami kita dan mengatakan “selamat menempuh hidup
baru” maka saat itu pula kita harus menyadari bahwa kita akan memulai segala
sesuatu yang baru bersama pasangan hidup kita yang juga baru. Aku sedikit
tersentil dengan pemaparan beliau.
Tanpa
disadari memang terkadang kita suka membandingkan rumah tangga kita dengan
rumah tangga orangtua kita, membandingkan sifat, sikap, kebiasaan yang
diwariskan dari orangtua kita dan tanpa sadar diterapkan dalam rumah tangga
baru milik kita. “Padahal itu adalah awal yang tidak baik.” Papar beliau
menambahkan.
Sebaiknya
rumah tangga yang kita bina merupakan rumah tangga yang dibangun atas dasar pemikiran
dua insan yang sama-sama membawa harapan baru, nuansa baru, kualitas baru,
sifat, akhlak dan hal lainnya yang baru. Tak perlu ada bayang-bayang orangtua yang
ikut mewarnai rumah tangga kita. Mungkin jika kita ingin mengambil teladan dari
orangtua adalah tentang sikap baik, kedisiplinan mereka dan hal positif lainnya.
Tentu kita bisa memilah dan memilihnya bukan?
Jika
aku membandingkan, Ibuku memang tak akan pernah membiarkan Ayah turun tangan
mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tapi kini, aku hidup dengan rumah tanggaku
yang baru. Membuat kesepakatan dan membangun kerjasama antara aku dan suamiku.
Bukan berarti aku tak memuliakannya, tapi bekerjasama dalam segala hal serta
kompak untuk urusan rumah tangga pun adalah hal yang menyenangkan buat kami. Kami
bisa mengerjakan semua hal bersama, bahu membahu dan nilai positif lainnya kami
jadi makin romantis.
Jadi
teringat kalimat yang pernah dilontarkan suamiku pertama kali saat aku
memintanya membantuku,”bukankah Rasulullah juga selalu membantu para istrinya?”.
Wallohu
‘alam bishowab.