“Besok sore kita
janjian ketemu di Bukit belakang sekolah
ya Nis,” ajak Nanda saat jam
istirahat di sekolah tadi pagi.
“Untuk apa Nis, kerja kelompok lagi? “
“Nggak,
aku mau memperlihatkan sesuatu padamu.”
“Kenapa
tidak di rumahmu saja Nis? Kan lebih dekat dari rumahku.” Ujarku merajuk.
“Ssstt..kamu nggak usah cerewet. Datang saja ke Bukit itu
jam 4 sore. Ok?”
“Baiklah Nis. Insya Alloh.” Aku pun menyerah menyanggupi.
***
“Sayang, apa yang kau lamunkan? Kenapa makanmu sama
sekali belum disentuh?” Tanya ibu membuyarkan lamunanku.
“E…eh ibu, anu bu, Nanda bingung dengan sikap Ninis tadi
pagi.”
“Ada masalah diantara kalian? Nanda mau cerita sama Ibu?”
“Bukan masalah Bu, tapi akhir-akhir ini Ninis sering
melamun, berubah jadi pendiam dan penutup. Tadi pagi Ninis juga mengajak Nanda
untuk bertemu di Bukit di belakang sekolah Bu, apa itu nggak aneh menurut Ibu?”
uraiku panjang.
“Ehm mungkin Ninis sedang merencanakan sebuah kejutan
untukmu Nak, dan surprisenya akan dibrikan di Bukit itu nanti. Kamu sudah nggak
sabar ya ketemu Ninis?” goda ibu.
“Iya Bu, besok akan kutanyakan semua padanya tentang
sikapnya belakangan ini.”
Ibu
pun memeluk dan mencium keningku cukup lama. Lalu berlalu dari hadapanku
sembari membawa piring-piring kotor dan kemudian masuk dapur, meninggalkanku
yang masih asyik melamun di meja makan.
***
“Sudah
sholat ashar Nis? Pakai jas hujan juga Nak, lumayan deras hujan di luar sana” Pinta
ibu lembut.
“Sudah
bu, Iya bu Ninis juga sudah pakai jas hujannya.”
“Hati-hati
ya Sayang. Titipkan salam ibu untuk keluarga Nanda.” Tambah ibu.
Aku
pun mengangguk dan tersenyum, setelah cium tangan Ibu, aku pun segera
melesat mengayuh sepedaku menuju Bukit
belakang sekolah. Aku sudah tak sabar bertemu sahabat karibku Nanda.
Sampai
di Bukit, kulihat sepeda Nanda sudah terparkir manis di sana. Seperti biasa,
kemana pun Nanda pergi, ia tak pernah melupakan sapu tangan hello kittinya.
Tapi kali ini, sapu tangannya itu tergeletak begitu saja dalam keranjang
sepedanya. “Lalu, kemana Nanda ya?” gumamku pelan.
Tiba-tiba
sebuah suara yang kukenal mengagetkanku dari belakang, “Hei!”
“Ya
ampun Nanda! Kamu membuatku jantungan tahu!”
“Peace…jangan
marah dong Nis, aku tadi ke kantin dulu, kebetulan masih buka, aku haus Nis.”
Jawab Nanda tanpa merasa bersalah.
“Lain
kali kamu nggak boleh begitu ya Nan.”
“Iya
maaf.” Jawab Nanda cengengesan.
“Sini
deh Nan, ini yang mau kuperlihatkan padamu.” Ninis kemudian mengeluarkan
selembar kotak berukuran segi empat berwarna biru bertuliskan kalimat UNTUK
SAHABATKU.
Puisi
dan sebuah buku diary. “Untukku Nis?”
“Iya,
kamu terima ya semua ini, aku sudah mencatatnya setiap hari khusus untukmu.
Tapi jangan dibaca sekarang.Nanti setelah sampai di rumah saja.”
“Tap..tapi..ada
banyak hal yang ingin kutanyakan padamu Nis.”
“Iya
aku tahu, dank au akan menemukan jawabannya di dalam diaryku itu.”
Kami
pun menghabiskan sore sambil menanti hujan reda di pendopo Bukit bersama,
sambil memakan bekal yang dibuatkan oleh Ibunya Ninis, minuman yang kubeli pun
tak sia-sia.Sore itu, rinai hujan begitu sejuk terasa. Hingga Ninis berteriak,
“Ada pelangi Nan, ayo lihat, cepat sini.”
Aku
pun lompat dari atas pendopo dan berlari kecil menuju Ninis. Meski masih
gerimis, tapi garis mejikuhibiniu itu melengkung sempurna membelah cakrawala.
Indah.
“Bagaimana
jika kita namakan Bukit ini Bukit Pelangi?” seru Ninis bersemangat.
“Wah
ide yang bagus Nis.” Timpalku tak kalah semangat.
“Nanda,
aku minta maaf ya atas semua kesalahanku, Ibuku pun menitipkan salam untukmu
dan keluargamu.”
“Kamu
kenapa sih Nis? Kok minta maaf segala. Salam kembali buat ibumu ya.”
“Kita
pulang yuk, sudah hampir maghrib.”
“Baiklah,
sampai jumpa kembali.” Jawabku semangat.
***
Ternyata
sore itu adalah perjumpaan kami yang terakhir, dari cerita yang kubaca dari
diary Ninis, ternyata sahabatku mengidap kanker leukemia. Setelah bertemu sore
itu, malamnya Ninis langsung dibawa ke rumah sakit di luar kota. Sebulan
lamanya Ninis dan keluarganya pergi berobat dan tak pernah terdengar kabarnya.
Hingga suatu sore di penghujung bulan Desember, keluarga Ninis datang ke rumah
tanpa Ninis dan menjelaskan semuanya. Aku tak sanggup mendengar pembicaraan
itu, hanya terpekur sembari berurai air mata menatap diary dan puisi dari Ninis
serta selembar foto kami saat kelas 1 SD.
Selamat
jalan sahabat kecilku…