Meski malam takbiran telah
berlalu dan sebagian orang pun telah kembali menjalani katifitasnya, namun
cerita yang mengiringi perayaan di malam kemenangan itu tak pernah usang untuk dikenang. Hampir di setiap tahunnya,
selalu ada kisah masing-masing yang turut mewarnai kemeriahan di malam
tersebut. Seperti halnya tahun ini, sejak awal Ramadhan aku sudah mempersiapkan
hati untuk tidak bersedih di akhir nanti karena aku tidak mudik ke kampung
halaman. Dan Alhamdulillah, meski tak mudik tahun ini, tak terasa terlalu
menyedihkan untukku.
Seperti
halnya kebanyakan orang, malam takbiran kemarin pun aku membujuk suamiku agar
mau menemaniku jalan-jalan berkeliling kota melihat keramaian menyambut hari
kemenangan. Sedikit bermalas-malasan dia mengantarku, karena memang dia tidak
suka berada di tengah keramaian, bermain petasan dan sebagainya, dia lebih
memilih di rumah, takbiran ala dirinya sendiri. Tapi aku pun tak kalah semangat
merayunya agar mau menemaniku. Sambil melantunkan takbir secara bergantian di
atas motor yang kami tumpangi, tanpa terasa mataku memanas. Ternyata kalimat
takbir itu benar-benar menggetarkan kalbu, dan membuat ingatanku melayang ke kampung
halaman. Membayangkan kehangatan jika berada di antara keluarga besar yang
kumpul untuk merayakan Lebaran, sementara kami di perantauan hanya merayakan
berdua, menghapus gundah dengan berkeliling kota. Allohu Akbar..Allohu Akbar..Allohu
Akbar..makin kuresapi kalimatnya, makin menjadi isak tangisku. Betapa Maha
Besarnya Alloh, yang selalu menyiapkan skenario yang tepat untuk para hambaNya.
Setelah
puas berkeliling, tiba-tiba suamiku mengajakku untuk mampir di sebuah kios penjual
petasan. Aku pun sedikit aneh, tapi juga tak menolak ajakannya. Kami pun
berhenti, melihat-lihat betapa banyak dan beragam petasan yang dijual di kios
itu. Dari mulai yang termurah hingga yang termahal ada di sana. Masya Alloh,
kalau dipikir, mereka yang membeli petasan ini sama halnya dengan membakar
uang. Apakah mereka menyadari itu? Termasuk kami. Akhirnya kami membeli petasan
seharga 30 ribu rupiah. Petasan yang bisa ditembakkan ke udara dan ketika
meledak memancarkan pijaran berwarna warni seperti bintang. Cantik memangtapi
saat aku mendengar suara dentumannya, aku merinding sendiri. Mengingat mungkin beginilah suara bom yang dijatuhkan
kaum Yahudi saat membunuh saudaraku di Palestina. Astaghfirulloh. Dan di label
kemasannya terdapat tulisan ‘Do Not Hold In Hand’.
“Tuh A,nggak boleh di pegang, harus ditanam
dalam tanah baru dinyalakan.” Ujarku semangat.
“Cara
maininnya dipegang bu, bukan ditanam” timpal si penjual.
“Tapi
kan tulisannya bukan untuk dipegang Mba.” Sahutku tak mau kalah.
“Iya
sudah dipegang atau ditanam yang penting selamat sampai tujuan.” Kelakar suamiku.
Sepanjang
perjalanan pulang aku pun mengajukan protes pada suamiku, kenapa tadi bercanda.
Padahal aku ingin sekali menerangkan bahwa petasan itu bahaya jika dipegang di
tangan, dan larangannya saja sudah sangat jelas terpampang di kemasannya, tapi
kenapa penjualnya sendiri tidak tahu dan bisa jadi jika tahu pun tidak mengingatkan
kepada pembeli untuk berhati-hati saat menyalakan petasan itu. Ternyata, bahaya
yang sering ditimbulkan akibat petasan di malam takbiran itu bukan hanya
kelalaian dari para pembelinya saja, tapi juga dari para penjualnya. Lagi-lagi
karena minim ilmu dan pengetahuan. Human error yang sangat fatal.
Astaghfirulloh.
Akhirnya
petasan itu kami bawa pulang, dan kami berikan pada anak-anak yang sedang
bermain di halaman rumah. Mereka tampak senang mendapatkan petasan gratis,
dengan cepat mereka melesat ke depan gang rumahku untuk menyalakan petasan itu.
* *
*
(anggota FLP cabang
Sengata)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar