Lets take a look inside..

Menengok kembali ke dalam diri kita haruslah sering kita lakukan. Mengingat siapa diri kita, untuk apa Alloh menciptakan kita dan akan kemana kita nanti, merupakan pertanyaan simple namun perlu perenungan panjang untuk menjawabnya.
Kini,lihat lah ke dalam hatimu, mungkin selama ini bukan kedua matamu yang buta, melainkan hatimu...

Selasa, 30 April 2013

(copas) Lubang



Dua anak kecil, kakak adik, tampak sibuk di sebuah pojok pekarangan rumah. Salah satu dari mereka terlihat menelungkup seperti mengambil sesuatu dari balik lubang kecil. Sementara yang satunya lagi begitu serius memperhatikan sang kakak. Sambil sesekali ikut melongok ke arah lubang, tangan kanannya tetap erat mencekal ranting kecil.
“Dapat, Kak?” ujar sang adik menampakkan wajah penasaran.
“Belum, Dik. Lubangnya dalam sekali!” jawab sang kakak yang masih ingin mencoba merogohkan tangannya lebih dalam ke pangkal lubang.
Rupanya, dua anak itu sedang berusaha mengambil sebuah bola pimpong yang masuk ke lubang. Tibalah giliran sang adik mengorek-ngorek lubang dengan rantingnya. Ia berharap, bola pimpong bisa tersangkut di ujung ranting dan tercungkil keluar lubang. Tapi, selalu saja ia gagal.
Di tengah kebingungan itu, seorang ibu menghampiri mereka. Ia melongok-longok mencari tahu apa yang sedang dilakukan dua anaknya dengan sebuah lubang. Tak lama kemudian, sang ibu pun mengangguk pelan.
“Belum berhasil, Nak?” tanya sang ibu sambil memberikan isyarat kehadirannya.
“Belum, Bu. Lubangnya dalam sekali!” ujar kedua bocah itu memperlihatkan keputusasaan.
“Nak,” ujar sang ibu sambil memegang dua pundak anak-anaknya. “Coba kau isikan air ke lubang. Insya Allah, lubang akan memberikan kalian bola!”
***
Mencari solusi dalam problematika hidup mungkin tak ubahnya dengan upaya mengeluarkan sesuatu yang kita inginkan dari dalam lubang yang dalam dan gelap. Butuh cara bijaksana agar yang kita inginkan bisa kita dapatkan dengan mudah.
Sayangnya, tak semua kita mampu bijaksana menyikapi lubang problematika hidup tersebut. Tak banyak yang memahami bahwa mencari solusi dari masalah tidak melulu dengan upaya ingin mendapatkan sesuatu. Tapi justru dengan semangat memberi. Dari memberi itulah, ia mendapatkan sesuatu yang diinginkan.
Tepat sekali apa yang diucapkan sang ibu kepada dua anaknya, “Penuhi lubang dengan air, ia akan memberimu bola!”


Bukit Pelangi



“Besok sore kita janjian ketemu di Bukit belakang sekolah  ya Nis,” ajak Nanda saat jam  istirahat di sekolah tadi pagi.
            “Untuk apa Nis, kerja kelompok lagi? “
“Nggak, aku mau  memperlihatkan sesuatu padamu.”
“Kenapa tidak di rumahmu saja Nis? Kan lebih dekat dari rumahku.” Ujarku merajuk.
            “Ssstt..kamu nggak usah cerewet. Datang saja ke Bukit itu jam 4 sore. Ok?”
            “Baiklah Nis. Insya Alloh.” Aku pun menyerah menyanggupi.
                                                                        ***
            “Sayang, apa yang kau lamunkan? Kenapa makanmu sama sekali belum disentuh?” Tanya ibu membuyarkan lamunanku.
            “E…eh ibu, anu bu, Nanda bingung dengan sikap Ninis tadi pagi.”
            “Ada masalah diantara kalian? Nanda mau cerita sama Ibu?”
            “Bukan masalah Bu, tapi akhir-akhir ini Ninis sering melamun, berubah jadi pendiam dan penutup. Tadi pagi Ninis juga mengajak Nanda untuk bertemu di Bukit di belakang sekolah Bu, apa itu nggak aneh menurut Ibu?” uraiku panjang.
            “Ehm mungkin Ninis sedang merencanakan sebuah kejutan untukmu Nak, dan surprisenya akan dibrikan di Bukit itu nanti. Kamu sudah nggak sabar ya ketemu Ninis?” goda ibu.
            “Iya Bu, besok akan kutanyakan semua padanya tentang sikapnya belakangan ini.”
Ibu pun memeluk dan mencium keningku cukup lama. Lalu berlalu dari hadapanku sembari membawa piring-piring kotor dan kemudian masuk dapur, meninggalkanku yang masih asyik melamun di meja makan.
                                               
                                                            ***
“Sudah sholat ashar Nis? Pakai jas hujan juga Nak, lumayan deras hujan di luar sana” Pinta ibu lembut.
“Sudah bu, Iya bu Ninis juga sudah pakai jas hujannya.”
“Hati-hati ya Sayang. Titipkan salam ibu untuk keluarga Nanda.” Tambah ibu.
Aku pun mengangguk dan tersenyum, setelah cium tangan Ibu, aku pun segera melesat  mengayuh sepedaku menuju Bukit belakang sekolah. Aku sudah tak sabar bertemu sahabat karibku Nanda.
Sampai di Bukit, kulihat sepeda Nanda sudah terparkir manis di sana. Seperti biasa, kemana pun Nanda pergi, ia tak pernah melupakan sapu tangan hello kittinya. Tapi kali ini, sapu tangannya itu tergeletak begitu saja dalam keranjang sepedanya. “Lalu, kemana Nanda ya?” gumamku pelan.
Tiba-tiba sebuah suara yang kukenal mengagetkanku dari belakang, “Hei!”
“Ya ampun Nanda! Kamu membuatku jantungan tahu!”
“Peace…jangan marah dong Nis, aku tadi ke kantin dulu, kebetulan masih buka, aku haus Nis.” Jawab Nanda tanpa merasa bersalah.
“Lain kali kamu nggak boleh begitu ya Nan.”
“Iya maaf.” Jawab Nanda cengengesan.
“Sini deh Nan, ini yang mau kuperlihatkan padamu.” Ninis kemudian mengeluarkan selembar kotak berukuran segi empat berwarna biru bertuliskan kalimat UNTUK SAHABATKU.
Puisi dan sebuah buku diary. “Untukku Nis?”
“Iya, kamu terima ya semua ini, aku sudah mencatatnya setiap hari khusus untukmu. Tapi jangan dibaca sekarang.Nanti setelah sampai di rumah saja.”
“Tap..tapi..ada banyak hal yang ingin kutanyakan padamu Nis.”
“Iya aku tahu, dank au akan menemukan jawabannya di dalam diaryku itu.”
Kami pun menghabiskan sore sambil menanti hujan reda di pendopo Bukit bersama, sambil memakan bekal yang dibuatkan oleh Ibunya Ninis, minuman yang kubeli pun tak sia-sia.Sore itu, rinai hujan begitu sejuk terasa. Hingga Ninis berteriak, “Ada pelangi Nan, ayo lihat, cepat sini.”
Aku pun lompat dari atas pendopo dan berlari kecil menuju Ninis. Meski masih gerimis, tapi garis mejikuhibiniu itu melengkung sempurna membelah cakrawala. Indah.
“Bagaimana jika kita namakan Bukit ini Bukit Pelangi?” seru Ninis bersemangat.
“Wah ide yang bagus Nis.” Timpalku tak kalah semangat.
“Nanda, aku minta maaf ya atas semua kesalahanku, Ibuku pun menitipkan salam untukmu dan keluargamu.”
“Kamu kenapa sih Nis? Kok minta maaf segala. Salam kembali buat ibumu ya.”
“Kita pulang yuk, sudah hampir maghrib.”
“Baiklah, sampai jumpa kembali.” Jawabku semangat.
                                                            ***
Ternyata sore itu adalah perjumpaan kami yang terakhir, dari cerita yang kubaca dari diary Ninis, ternyata sahabatku mengidap kanker leukemia. Setelah bertemu sore itu, malamnya Ninis langsung dibawa ke rumah sakit di luar kota. Sebulan lamanya Ninis dan keluarganya pergi berobat dan tak pernah terdengar kabarnya. Hingga suatu sore di penghujung bulan Desember, keluarga Ninis datang ke rumah tanpa Ninis dan menjelaskan semuanya. Aku tak sanggup mendengar pembicaraan itu, hanya terpekur sembari berurai air mata menatap diary dan puisi dari Ninis serta selembar foto kami saat kelas 1 SD.
Selamat jalan sahabat kecilku…

Istri Hemat



“Kamu sudah liat iklan yang baru belum?” isi pesan singkatnya di handphoneku.
            “Belum, memangnya iklan tentang apa?” balasku cepat.
            “Itu tentang sayembara mencari istri hemat! Masa belum liat?” tanyanya menambahkan.
            “Iya deh, nanti ku pelototin tivinya biar aku liat iklannya.” Balasku mengakhiri.
            Setelah sms itu berakhir, aku pun mau tidak mau harus memandangi layar kaca berukuran 14 inch itu, demi melihat iklan baru yang diberitakan oleh sahabatku tadi. Aku pun mengganti saluran demi saluran untuk menemukannya. Agak berlebihan mungkin, hanya demi sebuah iklan. Tapi aku penasaran dibuatnya, dan akhirnya aku melihat iklan itu! Ternyata iklan sebuah kartu perdana, yang mungkin sangat terkenal di kota-kota besar sana, bukan untuk dikonsumsi di kota di tengah hutan seperti tempatku merantau sekarang, karena pasti tidak laku. Ku amati iklannya. Lucu juga, bahkan kreatif menurutku. Mengaitkan problematika kehidupan dengan slogan dari kartu perdana tersebut.
            Menarik untuk disimak. Seorang pemuda dari golongan berada duduk di sebuah kursi, kemudian datanglah satu persatu gadis yang ingin menjadi pendamping hidupnya. Semua gadis itu menyebutkan kebolehannya, berusaha untuk menarik perhatian sang pemuda dan berharap ia bisa dipilih olehnya untuk jadi istrinya. Tapi anehnya, sang pemuda pun tak tertarik dengan semua gadis itu, hingga muncul gadis terakhir yang mengatakan dirinya hemat. Dan pemuda itu pun langsung meminangnya.
            Sekilas tampak lucu, menggelitik, dan logis menurutku. Sah-sah saja saat semua kaum adam, memilih pasangan hidupnya, tentu mempunyai harapan kelak istrinya nanti adalah seorang yang hemat dalam mengatur urusan rumah tangganya. Tidak boros dalam segala hal. Tidak bermewah-mewahan dalam memakai harta suami atau miliknya sendiri. Hemat dalam artian sesuai kemampuan, bukan pula berarti pelit apalagi perhitungan.
            Para suami itu akan sangat bangga dan semakin sayang kepada istrinya jika sang istri bisa menjaga dan merawat harta benda yang dibelikan suaminya untuknya. Seperti peralatan elektronik, pakaian dan sebagainya. Tapi akan berlaku sebaliknya, sedih apabila sang istri menjadi makhluk yang boros, tak bisa merawat harta benda suaminya dengan baik.
            Astaghfirulloh. Semoga kelak kita yang telah berstatus sebagai seorang istri ataupun akan menjadi seorang istri bisa banyak mentauladani sikap hemat putrid Rasulullah SAW yakni Fatimah. Yang dengan sahajanya mengerjakan semua keperluan rumah tangganya dengan kedua tangannya saja. Dan semoga Allah SWT mengampuni setiap kekhilafan dan kealpaan kita. Amin.
            Wallohu ‘alam bishowab.

Alur Pendidikan



“Tuntutlah Ilmu sejak buaian hingga ke liang lahat”..
Sejak lahir kita sudah belajar
Bahkan saat dalam rahim bunda kita
Mengenal siapa Rabb kita
Mengenal siapa orang – orang yang penuh kasih sayang
Yang ada di sekitar  kita lewat suaranya
Belajar mengambil makanan dari tali pusar sang bunda

Setelah lahir ke dunia…
Maka akan banyak hal lagi yang harus dipelajari
Usia balita, dunia anak – anak, saat remaja, masa dewasa
Bahkan hingga tua renta dan sampai meregang nyawa
Terus berusaha menncari dan mencari ilmu
Tanpa kenal lelah

“Makin berisi padi maka makin merunduk lah ia”..
Itulah cerminan sorang ber ilmu
Makin bertambaha keilmuannya
Maka makin rendah lah hatinya
Makin menatap ke bawah
Bahwa semua adalah karunia Nya
Pemberian Nya semata
Atas usaha dan kerja keras kita

“Semakin tinggi sang pohon, semakin kencang pula angin yang menerpanya”
Tak dipungkiri aral itu selalu melintang
Iri, dengki pun menjadi hiasan
Itulah sesungguhnya ujian
Saat mampu bersabar dan berserah diri
Maka Sang Khalik pun akan selalu mendampingi

“Sebaik – baiknya manusia adalah yang memberi manfaat pada orang lain”
Itulah hakikat ilmu dalam kehidupan
Biarlah ia ada`untuk berguna
Biarlah ia melekat untuk bermanfaat
Biarlah ia bercahaya karena menyimpan pahala